Syafi’i adalah profil ulama yang tekun dan berbakat dalam menulis. Karangannya yang sampai kepada kita antara lain,
(1) ar-Risalah, suatu kitab yang khusus membahas tentang usul fikih dan me-rupakan buku pertama yang ditulis ulama dalam bidang usul fikih. Di dalamnya Syafi’i menguraikan dengan jelas cara-cara mengistinbatkan hukum. Sampai sekarang buku ini tetap merupakan buku standar dalam usul fikih.
(2) Kitab al-Umm, sebuah kitab fikih yang komprehensif. Kitab al-Umm yang ada sekarang terdiri atas tujuh jilid dan mencakup isi beberapa kitab Syafi’i yang lain seperti Siyar al-Ausa’i, Jima’ al-‘Ilm, Ibtal al-Istihsan, dan ar-Radd ‘Ala Muhammad ibn Hasan.
(3) Kitab al-Musnad, berisi tentang hadis-hadis Nabi SAW yang dihimpun dari kitab al-Umm. Di sana dijelaskan keadaan sanad setiap hadis.
(4) Ikhtilaf al-Hadis, suatu kitab hadis yang menguraikan pendapat Syafi’i mengenai perbedaan-perbedaan yang ter-dapat dalam hadis. Terdapat pula buku-buku yang memuat ide-ide dan pikiran-pikiran Imam Syafi’i, tetapi ditulis oleh murid-muridnya, seperti Kitab al-fiqh, al-Muktasar al-Kabir, al-Mukhtasar as-Sagir, dan al-Fara’id. Ketiga yang baru ini dihimpun oleh Imam al-Buwaiti.
SYAFI’I, MAZHAB.
Salah satu aliran dalam fikih di kalangan Ahlusunah waljamaah. Nama ini dinisbahkan kepada Imam Syafi’i yang nama panjangnya Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Imam Syafi’i merupakan pendiri aliran ini yang muncul pada pertengahan abad ke-2 H.
Sebagai pendiri mazhab, Imam Syafi’i memiliki pemikiran fikih yang khas yang berbeda dengan kedua aliran sebelumnya, Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi, meskipun kedua aliran ini telah dipelajarinya secara mendalam. Ketika menetap di Mesir, ia membina para muridnya yang kemudian menjadi ulama-ulama besar sebagai penerus dan penyebar pahamnya. Di antara muridnya yang ter-kenal adalah Abu Saur Ibrahim bin Khalid bin Yamani al-Kalbi, Hasan bin Ibrahim bin Muhammad as-Sahab az-Za’farani, Isma’il bin Yahya al-Muzani, dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi. Dari para murid inilah paham-pahamnya tersebar luas dan karya tulisnya menjadi pegangan atau sumber acuan masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya, paham-paham Syafi’i menjadi suatu mazhab fikih yang penganutnya tersebar di berbagai dunia Islam.
Sumber acuan mazhab ini adalah paham dan buah pikiran Syafi’i yang termuat dalam berbagai karya tulisnya, antara lain: Ar-Risalah (kitab usul fikih), al-Umm (kitab yang memuat masalah-masalah fikih), Ikhtilaf al-Hadis (kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis), dan al-Musnad (kitab hadis). Kitab-kitab lainnya, yang dihimpun oleh para muridnya, antara lain al-Fiqh (hasil himpunan al-Haramain bin Yahya), al-Mukhtasar al-Kabir, al-Mukhtasar as-Sagir, al-Fara’id (hasil himpunan Imam al-Buwaiti), al-Jami’ al-Kabir, dan as-Sagir (hasil himpunan al-Muzani). Para ulama Mazhab Syafi’i ada yang mengembangkan kitab-kitab tersebut dengan mensyarahkan (menguraikan atau menjelaskan) atau membuat hasyiahnya (komentar). Ada juga yang sengaja menyusun kitab-kitab sebagai karyanya sendiri dengan mengacu pada paham-paham fikih dan metode istinbat Syafi’i.
Adapun yang menjadi dasar dalam pembinaan fikihnya (masadir atau sumber/dasar dan dalil ta-syri’-nya atau hukumnya) sebagaimana yang diterapkan oleh Syafi’i, ialah Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan kias. Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan sunah sumber kedua. Sunah yang dipakai adalah sunah yang nilai kuantitasnya mutawdtir (perawinya banyak orang) maupun yang ahad (perawinya satu orang); sunah yang nilai kualitasnya sahih maupun hasan, bahkan juga sunah yang daif. Adapun syarat-syarat untuk semua sunah yang daif adalah:
(1) tidak terlalu lemah,
(2) dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum) dari nas,
(3) tidak bertentangan dengan dalil yang kuat atau sahih, dan
(4) hadis tersebut bukan untuk menetap-kan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan sekedar untuk anjuran keutamaan amal (fada’il al a’mal) atau untuk targib (imbauan) dan tarhib (anjuran).
Dalam pandangan Imam Syafi’i hadis mempunyai kedudukan yang begitu tinggi. Bahkan disebut-sebut sebagai salah seorang yang meletakkan hadis setingkat dengan Al-Qur’an dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam yang harus diamalkan. Karena, menurut Imam Syafi’i, hadis itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Al-Qur’an. Bahkan, menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang beliau peroleh dari memahami Al-Qur’an. Dengan demikian, memang pada tempatnya jika Imam Syafi’i oleh banyak orang dijuluki sebagai pembela sunah (nasir as-sunnah). Selain berpegang pada Al-Qur’an dan sunah, Imam Syafi’i juga berpegang pada ijmak. Ijmak yang dimaksudkannya ialah suatu hasil kese-pakatan para sahabat secara integral mengenai hukum suatu masalah. Kesepakatan ini harus diper-oleh secara jelas. Soal kias, menurut Imam Syafi’i merupakan salah satu dasar hukum Islam untuk mengetahui suatu kepastian hukum yang ketentuannya tidak ditunjuk langsung oleh nas yang sarih (tegas). Jika suatu persoalan hukumnya tidak ditunjuk secara jelas, baik oleh nas maupun oleh ijmak, maka harus dilakukan ijtihad melalui jalan kias. Kias itu sendiri artinya ilhaqu amrin qair mansusin ‘ala hukmihi bi amrin akhar mansusin ‘ala hukmihi liisytirakihi ma’ahu fl ‘illah al-hukmi (menetapkan hukum atas suatu perbuatan yang belum ada nasnya berdasarkan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya secara jelas dalam nas, karena terdapat kesamaan ilat [sebab] hukumnya). Di kalangan penganut Mazhab Syafi’i dikenal juga adanya teori/metode maslahat, yakni metode penerapan hukum yang berdasarkan kepentingan umum. Hanya saja maslahat yang digunakannya terbatas pada maslahat yang mu’tabarah (maslahat yang secara khusus ditunjuk oleh nas) dan maslahat yang mulaimah lijins tasarrufat asy-Syari’ (maslahat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagai pembuat undang-undang).
Mazhab Syafi’i mula-mula tumbuh dan berkembang di Irak. Di sinilah untuk pertama kalinya Imam Syafi’i menyampaikan paham-pahamnya kepada para ulama, ketika ia melawat ke daerah ini dalam rangka meluaskan wawasan ilmunya. Mazhab ini berkembang cukup subur dan pesat di Mesir, sekalipun pada masa kekuasaan Dinasti Fatimiah mazhab ini sempat mendapat tekanan keras. Dari sini paham-paham Syafi’i terus disebarkan oleh para pengikutnya ke berbagai wilayah, seperti Baghdad, Khurasan, Pakistan, Syam (Suriah), Yaman, Persia (Iran), Hedzjaz, India, dan beberapa daerah Afrika dan Andalusia. Pada perkembangan berikutnya, sampai pada abad modern Islam, mazhab ini telah memasuki berbagai belahan dunia, antara lain Mesir, Palestina, Suriah, Khurasan, Hedzjaz, Irak, Persia, Hadramaut, Aden, Cina, India, Pakistan, Philipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Untuk beberapa negara atau daerah, mazhab ini juga mengalami pasang surut, yakni berkaitan erat dengan kebijaksanaan pemerintah yang sedang berkuasa. Hal ini dapat dilihat di Iran maupun di Madinah bahwa Mazhab Syafi’i tidak banyak berkembang di kedua negara ini.
sumber
"Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku dengan sebab (pujian) yang mereka ucapkan,
dan ampunilah aku dari (perbuatan dosa) yang tidak mereka ketahui
(dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka)"
(HR. Bukhari)
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 komentar on Imam Syafi'i R.A :
Posting Komentar